Alhamdulilah.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa jarak yang dibolehkan untuk mengqasar shalat dan berbuka bagi orang yang berpuasa adalah 48 mil.
Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni:
Madzhab Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) berpendapat bahwa qasar tidak boleh dilakukan jika jarak perjalanannya kurang dari 16 farsakh. Satu farsakh sama dengan 3 mil, maka 16 farsakh sama dengan 48 mil. Ibnu Abbas memperkirakan jarak tersebut sama dengan perjalanan dari ‘Usfan menuju Mekkah, atau Tha’if menuju Mekkah, atau Jeddah menuju ke Mekkah.
Dengan demikian, jarak yang diperbolehkan qasar adalah sejauh perjalanan dua hari normal (sesuia masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Juga termasuk Madzhab Malik, Laits dan Syafi'i.
Dalam hitungan kilometer sekarang, jarak tersebut kira-kira 80 km.
Syekh Bin Baz rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa (12/167) tentang perkiraan jarak yang dibolehkan qashar;
“Menurut kebanyakan ulama’ (jumhur) diperkirakan sekitar 80 km, bagii orang yang berjalan memakai kendaraan, begitu pula pesawat terbang atau perahu. Jarak ini kurang lebihnya dinamakan safar. Inilah apa yang dikenal oleh kaum muslimin. Kalau seseorang bepergian, baik naik onta, berjalan kaki, memakai mobil, pesawat terbang atau kendaraan laut dengan jarak tempuh seperti itu atau lebih, maka dia dinamakan musafir.”
Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Arab Saudi) ditanya (8/90) tentang jarak yang diperbolehkan qasar shalat. Apakah supir angkutan umum yang pergi dalam jarak lebih dari 300 km dibolehkan mengqashar shalatnya?
Mereka menjawab: Jarak yang diperkirakan dibolehkan mengqashar shalat adalah sekitar 80 km menurut pendapat kebanyakan ulama’. Dibolehkan bagi supir taksi atau lainnya untuk melaksanakan shalat qashar jika ingin menempuh perjalanan yang berjarak seperti yang kami sebutkan tadi atau lebih”
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa safar tidak ditentukan dengan jarak tertentu, akan tetapi yang menjadi rujukan adalah ‘urf (kebiasaan). Apa yang dianggap safar menurut kebiasaanya, maka itu adalah safar dan berlaku baginya hukum safar dalam syariat seperti jama’ (menggabungkan) dua shalat, mengqasar dan berbuka bagi musafir.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitab Fatawanya (24/106): Dalil berpihak kepada orang yang menjadikan alasan dibolehkannya melakukan qasar dan berbuka dikarenakan jenis safarnya, tanpa mengkhususkan antara satu safar dengan safar lainnya. Dan pendapat ini yang shahih (kuat).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya dalam kitab Fatawa Arkanul Islam (hal: 381) tentang perkiraan jarak yang dibolehkan bagi musafir untuk mengqashar shalatnya, dan apakah dibolehkan menjama’ (menggabungkan dua shalat) tanpa qasar?
Beliau menjawab: “Jarak yang dibolehkan mengqasar shalat, sebagian ulama memberikan batasan sekitar 83 km. Sebagian ulama lainnya memberikan patokan bahwa yang dikatakan safar adalah apabila menurut kebiasaan orang hal itu dikatakan safar meskipun jaraknya kurang 80 km, dan apa yang dikatakan orang –menurut kebiasaan- bahwa itu bukan safar, maka dia tidak termasuk safar meskipun jaraknya lebih dari ratusan kilometer. Pendapat terakhir ini adalah pilihan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Karena Allah tidak pernah menetapkan jarak tertentu untuk kebolehan mengqasar. Begitu juga Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam tidak menentukan jarak tertentu. Dari Anas Bin Malik radhiallahu’anhu: Biasanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam kalau beliau keluar (melakukan perjalanan) sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau melakukan shalat dua rakaat. (H.R. Muslim, No. 691)
Pendapat Syekhul Islam rahimahullah lebih dekat kepada kebenaran, karena pendapat ini telah dikatakan oleh sebagian ulama mujtahid. Seandainya ada perbedaan dalam menentukan safarnya sebuah perjalanan berdasarkan ‘urf, tidak mengapa dalam hal ini jika seseorang berpedoman dengan jarak tertentu. Karena pendapat ini juga dipegang oleh sebagian ulama mujtahid. Hal ini tidak mengapa insyaAllah. Akan tetapi jika pandangannya (dalam menentukan sebuah safar berdasarkan kebiasaan) sama, maka kembali kepada kebiasaan untuk menentukan safar adalah sikap yang tepat.”.